Tidak ada planning kemana dan berapa lama hanya ingin pergi
saja menggendong keril lagi. Sudah terlalu lama bersantai di pantai dan hampir
menjadi zona nyaman. Sudah waktunya berkelana lagi menjelajahi sebagian kecil
Indonesia yang cantik.
Dengan Eastrip aku memilih Pulau Sabu. Salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur yang
belum banyak dikunjungi turis untuk berpelisir. Informasi tentang pulau ini
tidak sebanyak pulau Komodo. Nekat ajalah pergi dengan ngantongin info yang
tidak banyak bareng Eastrip.
![]() |
Tidak sabar untuk tiba di Sabu |
Tempat tidur di dalam kapal Fungka |
Bangun pagi, aku keluar untuk berjumpa dengan matahari terbit
ternyata kapal sudah hampir bersandar. Rasa was-was dan semangat akibat
senang bercampur. Di Sabu aku tinggal dengan teman dari untuk
beberapa hari.

Kenapa memilih pulau Sabu untuk aku explore? Karena kamu akan
menemukan jawabannya saat baca tulisan ini hingga akhir. Bahkan akan lebih
merasakan keseruannya bila traveling bareng aku ke sini :D
19 September 2017, Petualangan dimulai.
Pulau Sabu ini adalah pulau kabupaten terkecil di Nusa
Tenggara Timur. Berada di Baratdaya dari selatan Indonesia yang terkenal dengan
“Pulau 1000 lontar” dari awal tiba di pulau ini pohon lontar yang melambai
menyapa bukan pohon kelapa ya. Bukan berarti di pulau Sabu ini ada 1000 pohon
lontar, tapi lebih bisa dibilang hampir daratan pulau yang luasnya 379,9 km2 ini dihuni pohon lontar.
NO TOURIST. Tidak ada turis berseliwiran disini seperti di
Labuan Bajo atau Rote. Bahkan tidak ada hotel, rumah makan, turis informasi,
bar, macet, polusi, mall. Bahkan di beberapa daerah tidak ada singnal telepon,
listrik, dan air tawar.
Dalam perjalanan menuju ke destinasi pertama, aku melihat rumah pohon yang ternyata itu adalah kamar kecil yang bisa muat 1 orang untuk tidur, bisa sih 2 orang kalau badannya kecil. Kamu akan merasakan terisolasi disini bila kamu tipe orang yang harus hidup dengan signal, listrik, AC, mall. Karena di tempat ini tidak ada itu semua. Untuk dapetin air tawar saja disini sangat susah, karena musim panas di propinsi Timur Indonesia ini lebih panjang ketimbang di pulau lainnya di NTT. Panasnya saja 33 0C tanpa polusi, maka sinar matahari langsung menyentuh kulit kamu. Siap-siap ikutan kulit coklat kayak aku hehehe :)
1.
Kelaba Maja.
Kelabamaja Di pulau Sabu, aku melihat landscape yang
tercantik selama aku mengexplore NTT (untuk saat ini). Sekilas hampir mirip
dengan Kings canyon yang ada di Australia. Di Kelaba Maja memiliki arti “Dewa
Tanah” untuk masyarakat Sabu, Hawu, mereka percaya tempat ini dulu tempat ini
dipakai untuk persembahan kepada dewa Maja dan tempat ini adalah tempat tinggal
dewa Maja.
Pilar-pilar batu yang terukir alam ini berwarna merah,
abu-abu, coklat. Lapisan berwarna merah bata ini yang membuat semakin cantik
Kelaba Maja. Kalau dari ilmu geologi sih ini terbentuk karena proses eksogen,
pelapukan dan erosional. Tapi kebenaran dan tidaknya mari kita tanya geologist :)
2.
Tambak Garam Laut
Tidak jauh dari Kelaba Maja, berjumpa dengan Ina (panggilan
untuk perempuan Sabu) yang sedang mengambil air laut dan ditumhakan di daun
lontar dan plastik botol.
Mereka dengan membuat garam. Kalau di Maumere, aku pernah lihat proses pembuatan garam rumah tangga dengan cara dimasak, kalau disini Air laut yang ditampung di wadah dibiarkan 1-2 minggu dibawah matahari dan menjadi garam laut secara sendiri.
Mereka dengan membuat garam. Kalau di Maumere, aku pernah lihat proses pembuatan garam rumah tangga dengan cara dimasak, kalau disini Air laut yang ditampung di wadah dibiarkan 1-2 minggu dibawah matahari dan menjadi garam laut secara sendiri.
Ini adalah pembuatan garam laut secara traditional. Garam
laut yang berwarna merah itu karena wadahnya dari daun lontar sedangkan yang
warna putih dari wadah plastik botol. Garam laut ini lebih sehat ketimbang
garam meja. Hawu memanfaatkan botol plastic untuk sebagai tempat menjemur air
laut, tapi disisi lain masih ada kandungan kimia dari plastik yang pasti masuk
ke garam laut.
![]() |
Sea salt |
Mari berandai kalau pemerintah Indonesia memanfaatkan garam
masyarakat Sabu untuk kebutuhan Negara ini dan tidak perlu mengimport dari luar
lagi, jadi uang untuk keluar negri itu dialihkan ke petani garam maka
pertumbuhan ekonomi akan serentak. Eh apa yang aku bahas ini hahaha. Sudahlah
mari lanjut berjalan dan menikmati yang didepan mata. :D
3.
Wadumea
Wadumea yang artinya adalah batu merah, disaat surut kamu
bisa menyebrang dan berdiri di batu besar berwarna merah yang menjadi pembatas
dengan laut lepas. Namun di saat air pasang jangan coba-coba yak arena itu bisa
membahayakan kamu.
Aku melihat ada beberapa air yang terjebak seperti kolam
kecil dan kamu bisa berendam cantik di dalamnya. Tapi hati-hati ya karena ada
terumbu karangnya dan itu bisa merusak, jadi urungkan lah niat untuk berendam
cantik di tempat yang ada terumbu karangnya. Pilih yang disebelahnya saja ya
yang tidak ada terumbu karang.
Disini pantainya berombak, tapi aku tidak tahu bisa tidak untuk
surfing. Kalau dilihat dengan mata awam seperti aku ini gak bisa lah untuk
surfing, karena disaat ombak habis itu langsung batu.
Kalau kamu suka dengan foto ombak yang low speed di tempat
ini cocok sambil menunggu matahari terbenam. Karena masih ada waktu sebelum
matahari terbenam maka, aku memutuskan untuk kembali ke Seba untuk menikmati
sunset di pantai
4. View point benteng Ege
Karena niat langsung ke panta Napae, Seba entah kita
mengambil jalur yang lumayan aneh dan berhentilah di Liae. Disini aku sebut
view point untuk melihat pantai Liae dan benteng Ege.
Duduk sesaat menikmati view dan merasakan angina mengelus kulit sambil bersyukur terimasih bisa menikmati semua ini disaat semua ini akan terkenal suatu hari nanti.
Duduk sesaat menikmati view dan merasakan angina mengelus kulit sambil bersyukur terimasih bisa menikmati semua ini disaat semua ini akan terkenal suatu hari nanti.
5. Pantai Napae
Disini ada penginapan yang berbentuk bungalow, namun untuk
toiletnya ada di luar. Lokasinya sih oke karena tepat di depan pantai dan view
sunsetnya luar biasa. Hanya kondisinya yang ada beberapa lubang di temboknya.
Temboknya dari daun lontar dan bambu. Kita skip penginapannya mari ke Pantai.
Sedangkan aku tetap dengan kebiasaan foto-foto haha.
Matahari perlahan turun dan hilang di balik lautan. Lingkaran
sempurna menutup pejalanan hari pertamaku di Sabu dengan cantik. Berharap besok
tetap cantik seperti hari ini dengan kejutan-kejutan yang luar biasa.
6. Desa Namata
Hari kedua di pulau Sabu tidak banyak yang ingin aku lakukan
selain explore dan explore, eh ini banyak ya maunya hahaha. Kedesa adat, itu
sudah pasti setiap aku pergi ke daerah di NTT. Karena adat di NTT masih kental
dan setiap daerah berbeda.
Kali ini aku berkesempatan ke desa Namata yang berjarak 5km
dari kota Seba. Tidak jauh kan? Tapi desa ini masih termasuk desa adat yang
sacral loh ya. Desa yang terkenal dengan batu bulat yang menyerupai meja ini
boleh kamu ambil fotonya dan bersandar bahkan berdiri di atasnya. Tetapi, ada
beberapa batu yang memang tidak boleh.
Kali ini, aku ditawarin untuk memakai pakaian sarung kain
tenun motif Sabu, identik dengan bunga. Mulailah ambil posisi untuk foto.
7. Pantai Liae
Waktunya bermain air, snorkeling di pantai Liae kalau kalian
tidak punya alat snorkeling bisa menghubungi bapak ketua kelompok peduli laut
yang tinggal di pantai Liae ini. Bisa sewa alat dimereka bahkan ditemani
snorkeling bareng. Sayangnya datang di saat surut maka lumayan berjalan jauh
ketengah hingga berpapasan dengan ombak yang pecah di karang. Melintasi ombak
dan berenang ke tengah. Akibat air laut surut dan pecahan ombak air laut pun
tidak sejernih disaat pasang. Ada beberapa terumbu karangnya yang ditutupi
lumut dan kurang memuaskanku. Untuk ikan-ikan disini lumayan. Memang menurut
warga setempat dulu tempat ini sering di bom ikan. Maka terumbu karang sekarang
mulai tumbuh perlahan.
Serunya berpetualangan sendiri itu seperti ini, dapat teman
baru dan keluarga baru dalam perjalanan. Setelah snorkeling mungking 10 menit
langsung disuguhi kelapa muda dan air lontar. Kebayangkan manisnya air kelapa
muda yang baru dipetik menutup hari yang manis.
8. Bukit Salju
Hawu menyebut bukit kapur ini bukit salju, karena warnya yang
putih hampir sama dengan warna salju. Bukitnya tidak terlalu besar dan luas,
hanya sebagian saja memperlihatkan batu kapurnya.
Meninggalkan gunung Salju, melihat budidaya garam yang lebih besar. Ya masih manual proses pengeringannya tetapi ini lebih luas dan bukan pakai cangkang kerang atau daun lontar.
Meninggalkan gunung Salju, melihat budidaya garam yang lebih besar. Ya masih manual proses pengeringannya tetapi ini lebih luas dan bukan pakai cangkang kerang atau daun lontar.
9. Pintu Laut
Ini favorite ku di Sabu selain tempat-tempat yang sudah aku
kunjungi ya. Karena aku dan kak Jnr yang mendapatkan spot cantik ini untuk
beremdam cantik. Karena tempat ini seperti pintu menuju ke Laut makanya kuberi
nama “Pintu Laut”
Berendam di air laut dengan mendengar suara hempasan ombak,
pemandangan sejauh mata memandang yaitu biru. Hidup begitu menyenangkan sekali.
10. Pelabuan Seba
Karena ini hari terakhir di pulau Sabu, maka waktunya mencari
posisi cantik untuk menikmati sunset sebelum besok pindah posisi untuk lokasi
sunsetnya. Normalnya orang pergi ke dermaga untuk melihat matahari terbit dan
foto-foto. Kali ini untuk pertama kak Jnr ke bangkai kapal untuk berburu foto sunset.
Berjumpa dengan balita yang memang disengaja setengah
badannya dikubur di pasir seperti menikmati sunset.
Jadi sudah tahu kan jawaban kenapa aku memilih pulau sabu?
Karena ini pulau terakhir atau kabupaten terakhir di Nusa Tenggara Timur yang
aku kunjungi. Maka sudah 100% kabupaten di NTT yang sudah aku explore. Alam dan
budaya yang memang masih sangat terawat dan cantik seperti orang-orangnya.
Untuk di NTT nona Sabu terkenal manis seperti gula Sabu.
Nah pulau 1000 lontar ini melambangkan dari pekerjaan
masyarakat setempatnya memproduksi arak lokal seperti, niru, sopi, moke dan
gula air yang kental. Banyak yang bilang keaku hati-hati di Sabu nanti kena
gula Sabu, lengket haha gak bisa balik lagi ke Jakarta he he he.
Gelang Kea, cincin kea, sisir kea terkenal dari pulau Sabu
(kea = penyu) Sudah menjadi budaya mereka perhiasaan untuk perempuan dari
cangkang penyu sisik, bahkan itu menjadi mahar kalau meminang nona Sabu.
Dalam perjalanan dari rumah ke pelabuhan Seba untuk naik
kapal Fungka kembali ke Kupang, terlintas pikiran untuk kembali lagi kepulau
ini untuk mengexplore sisi lain pulau Sabu, karena aku setengahnya ku explore.
Pulau Raijua dan pulau perbatasan Dana belum juga kau explore. Belum juga
meninggalkan pulau ini sudah berpikir kembali ha ha ha. Makasih Eastrip, kak Jnr dan
teman-teman lain sudah menjadi teman perjalan di Sabu dan keluarga baru :)
***